Stasiun adalah perhentianku yang terakhir, tempat di mana kereta kehidupanku akan berhenti selamanya. Aku seperti seorang peramal yang akhirnya menyingkap tirai takdir; hidupku tak lebih dari satu kali rotasi matahari lagi. Bahkan tidak sampai setangah hari lagi. Perlahan, aku menarik gorden kamar, membiarkan cahaya matahari terakhir menyelimuti tubuhku—sinar yang telah lama menyinari dunia dengan hangat.
Aku tahu, beberapa jam dari sekarang, keretaku akan tiba, membawa diriku ke stasiun impian, tempat di mana kematian menungguku. Di depan cermin, aku menatap bayanganku untuk terakhir kalinya, berusaha tersenyum meski senyum itu terasa pahit, seolah seluruh beban dunia tertumpu di bibirku.
Bramasta—kakak angkatku—datang, menemaniku. Kami berbincang singkat, meski percakapan kami tak lebih dari sekadar basa-basi. Seperti biasa, aku selalu menjadi yang kedua baginya, selalu ada prioritas lain yang mendahuluiku. Namun kali ini, aku sudah tak peduli. Dalam hatiku, aku tahu, penyesalan akan selalu menghantuinya setelah kepergianku.
Suara deru mobil tua Bramasta memecah kesunyian, membuat kaca jendela bergetar seperti sekarat. Aku hanya mengenakan kaus putih dan kemeja hitam—pakaian sederhana untuk mengantarku ke gerbang kematian. Dengan langkah tenang, aku mendekati ibu, menciumnya untuk terakhir kali. Dia terburu-buru pergi, mengejar karier dna tak pernah memberiku tempat di dalam hatinya.
Aku menoleh sekali lagi ke arah rumah yang selama delapan belas tahun terakhir menjadi tempat berlindungku. Kini, dinding-dindingnya yang hangat tampak asing dan muram, seolah memintaku untuk segera pergi. Bramasta berdiri di pintu, mengulurkan tangan untuk mengambil kunci. Dia, lelaki yang telah kukenal selama ini sebagai kakak, seorang yang penuh teka-teki. Di balik tampangnya yang tenang, dia menyimpan banyak rahasia, tapi aku sudah tak peduli lagi. Toh, dia hanyalah seorang kakak angkat.
Madiun pagi ini seolah ikut berduka bersamaku. Lagu di radio mobil terdengar serak, mungkin karena lama tak diputar. Kami berdua terdiam sepanjang perjalanan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kendaraan ini melaju cepat, dengan roda-roda yang tak kenal ampun, dan aku tahu, waktuku semakin sedikit.
“Kak,” panggilku pelan, seolah takut suara kereta akan menenggelamkannya.
"Ada apa?” jawabnya, matanya masih tertuju ke jalan di depan.
“Keretanya sebentar lagi datang, sepertinya Kemala sudah menungguku di sana.”
Aku melihat sosok Kemala di kejauhan, seperti bayangan yang terus mendekat. Hatiku semakin pilu saat menatap matanya yang penuh pengetahuan, seolah dia tahu apa yang akan terjadi.
"Keretanya terlalu cepat, Kak," gumamku, nyaris seperti bisikan.
Aku melihat Bramasta mengernyit, dahi berkerut, seperti seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang sulit dijangkau. Kacamata bulat yang biasa melorot saat dia berpikir serius, tertinggal di rumah pagi ini. Tanpa kacamata itu, wajahnya terasa asing, seperti seseorang yang baru pertama kali kulihat. Tentu saja orang normal tak akan mengerti apa yang ada di sudut pandang penderita kanker otak.
Namun, anehnya, dialah yang menorehkan luka terdalam di hatiku, lebih dari siapapun, termasuk Kemala—Kakak kandungku yang menghilang setelah jatuh ke sungai saat perjalanan kuliahnya. Kasih sayang yang kuberikan dan cinta yang dia tanam untukku terasa begitu menyakitkan ketika kereta itu melaju terlalu cepat.
Dadaku serasa diremas saat kereta itu tiba, stasiun terakhirku. Aku memaksa diriku menatap Bramasta sekali lagi, lebih dalam dari sebelumnya. Sebelum semuanya berakhir, aku peluk tubuhnya, dengan perasaan sayang yang selama ini ingin kusampaikan. Aku lepaskan semua marah, semua rasa sakit, untuk satu-satunya orang yang mustahil kutemui lagi di waktu mendatang.
Memalukan, tapi biarlah bahunya basah untuk sementara. Dekapannya yang hangat, aroma kemejanya yang tak berubah sejak dulu, membuatku merasa sejenak seperti berada di rumah.
"Terima kasih" ucapku, dengan suara bergetar. Aku menangkap kedua netra Bramasta, matanya penuh air yang tak bisa ia sembunyikan. Bramasta menjadi diam seribu bahasa.
Keretaku berhenti sempurna. Kulihat Kemala menungguku di depan pintu gerbong. Semua tangis yang kutahan akhirnya pecah saat melihat air mata Bramasta yang tertahan di pelupuknya. Hatiku semakin hancur saat dia mencoba mengatakan kata-kata manis lainnya dengan suara yang bergetar, seperti diterjang gempa hebat.
Aku berharap waktu ini bisa berhenti sejenak, untuk memberi kesempatan melepaskan dan merenggangkan ikatan erat degup jantungku pada dunia ini. Tapi aku tahu, kereta ini tidak akan menunggu.
Keretaku mulai bergerak, suara roda-roda besi mengisi telinga, seolah mengisi seluruh ruang di dalam kepalaku yang semakin sesak. Kereta ini melaju terlalu cepat, dan aku tahu, aku tak bisa melarikan diri.
Apakah di dunia nyata aku akan bertemu lagi dengan Bramasta? Apakah dia benar-benar ada, ataukah hanya bayangan dalam mimpiku sebelum ajal menjemputku?
Aku belum siap untuk naik ke kereta ini. Aku masih ingin tinggal di stasiun, menikmati kehangatan yang memudar perlahan tanpa harus pergi dengan kereta yang terlalu cepat ini. Tapi semuanya sudah tak terhindarkan. Kereta ini terlalu cepat, dan aku tak bisa membuatnya berhenti.
Kereta ini berjalan dengan cepat.
Terlalu cepat.
Sampai akhirnya, aku mati rasa. Hingga aku mati, kurasa.
Posting Komentar