0

    Saya terdiam di ruangan yang tertutup. Dinding kamar yang berwarnakan putih dan marble lantai yang dingin. Hanya ada tempat tidur yang keras, wastafel, dan toilet kecil. Saya merenungkan apa yang telah saya perbuat semasa saya masih bebas di dunia ini. Saya orang yang keji, merenggut nyawa-nyawa yang belum layak mati. Menyesal akan perbuatan yang saya telah lakukan sekarang tidak berguna. Akhir yang bahagia untuk saya hanyalah sebatas fana.


Di balik pintu kokoh yang terbuat dari besi itu ada ruangan lagi. Ruangan yang bisa membuat saya kembali ke dalam kebebasan dunia. Namun, jikalau saya memang mau bebas apa yang akan saya lakukan lagi? Saya hanya akan dipandang sebagai orang yang buruk. Dan ruangan yang kedap akan suara ini membuat saya merasa terpuruk. Sekalinya pembunuh tetaplah pembunuh. Dahulu saya membunuh orang lain tapi sekarang saya membunuh diri saya sendiri dengan perlahan-lahan menjadi gila.


Saya adalah seorang Ayah dari keluarga kecil yang dulunya harmonis. Tiap saya pulang dari kantor tempat kerja saya, saya disambut oleh istri dan kedua anak kesayangan saya. Api yang tadinya membara untuk selalu bekerja keras untuk mereka semua pindah jadi api yang murka menelan mereka. Waktu itu inflasi kota ini makin menerjang dan membiayai mereka menjadi lebih sulit. Saya kelelahan dan istri saya bersedih dan juga lelah tapi kelelahan kita membuat semuanya hancur.


[Third Person POV]


"Mas, tagihan listrik dan air belum dibayar apalagi kebutuhan kita. Jangankan lauk, beras saja kita sudah tidak mampu beli!"


Suaminya yang tengah kelelahan sehabis pulang kerja pun menjadi geram.


"Dengarkan mas ya? Mas sudah berusaha semaksimal yang mas bisa untuk membiayai keseharian kita. Jadi kita sabar dulu ya."


Dia mencoba untuk tetap tenang tapi air yang terguncang tidak akan bisa berhenti ketika wadahnya belum tenang.


"Mau menunggu sampai kapan mas! Anak kita sudah kelaparan. Kalau tidak bisa menafkahi mendingan dari dulu kita tidak usah menikah saja."


Air panas itu akan terguncang dan terguncang mengikuti wadahnya.


"Anda tidak tahu terimakasih ya! Dari dahulu tuh saya yang nafkahi kamu, saya yang belikan kamu cincin ini, saya yang belikan keluarga ini papan, sandang, dan pangan!"


Suara tamparan keras mendarat di pipi seorang wanita yang tampangnya sudah lusuh.


"Beraninya kamu sama perempuan mas! Saya yang mengandung anak kita sampai mereka bisa ada di sini! Saya yang menjaga mereka pagi hingga pagi. Memang kata bapak benar harusnya saya tidak pernah menikahi orang miskin."


Sampai saat air itu tumpah karena guncangan yang keras dan membakar apapun yang ada di dekatnya.


Suaminya yang sudah tidak tahan lagi memukuli istrinya. Anak-anaknya sudah tertidur lelap dan istrinya terbaring pingsan. Karena dia tidak mau mendengar sepatah kata lagi dari mulut istrinya. Dia menumpahkan minyak di seluruh ruang rumahnya lalu menyalakan korek api.


[First Person POV]


Dari situ saya menyesal. Dan penyesalan itu malah menjadi hal yang lebih membuat dunia dan isi pikiran saya kacau. Setiap saya melihat keluarga yang bahagia saya selalu mencari kesempatan untuk merusaknya. Membunuh Ayahnya, atau ibunya, dan bahkan anaknya. Saya merasa lega ketika polisi akhirnya menangkap saya. Karena saya tidak tahu lagi mana yang buruk dan baik.


Listriknya padam dan ruangannya menjadi gelap gulita. Saya terdiam dan hanya bisa berharap lampunya akan menyala lagi dan memberikan penerangan. Suara decitan pintu terdengar membawa cahaya penuh harapan. Tapi harapan itu padam ketika saya sadar saya sudah tidak di tempat saya yang dulu. Saya mati di tempat renungan yang tertutup. Ruangan yang membuat saya terdiam.

Posting Komentar

 
Top