"Apa, dipercepat menjadi lusa?" Baskara tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari perempuan berkulit putih di sebelahnya yang tengah sibuk menatap langit malam.
"Aku hanya tidak ingin membenci Hindia Belanda, Kara. Semua orang di sini semakin membenci keberadaan kami."
Baskara hanya bisa terdiam. Apa yang Katarina katakan memang benar. Dia juga merasakan mereka sudah tidak aman di sini; semakin hari semakin banyak orang-orang yang menyadari keberadaan Katarina sebagai putri seorang pengkhianat.
Terlepas dari apa yang orangtuanya lakukan, Katarina dan adiknya sama sekali tidak bersalah dan tidak pantas mendapatkan perlakuan yang buruk. Mereka hanya korban yang sama sekali tidak mengetahui pekerjaan apa yang dilakukan oleh orangtuanya.
"Kalau begitu, bagaimana jika aku ikut denganmu ke Netherlands? Sebelumnya aku sudah berjanji untuk menjagamu dan adikmu."
Suara lembut perempuan itu kembali terdengar, "tidak perlu, Kara, karena aku bukan perempuan baik-baik."
"Dan aku pun bukan pria baik-baik, Rin," sanggah Baskara dengan cepat.
"Kamu orang baik, kamu selalu menolongku, dan kamu satu-satunya orang yang memperlakukan aku selayaknya seorang manusia. Sedangkan aku? Kamu sendiri pernah melihat aku melakukan pekerjaan itu, Kara."
"Tapi kamu terpaksa melakukan itu, Rin, demi menghidupi adikmu."
Hening.
Suasana berubah menjadi sendu, memori keduanya kembali terlempar ke masa-masa lalu, tepatnya beberapa bulan lalu sebelum keduanya pindah ke tempat ini. Saat dimana Katarina harus merelakan dirinya sendiri agar ia bisa mendapatkan makanan serta uang untuk bertahan hidup. Tidak peduli akan tubuhnya yang dirusak oleh manusia-manusia bajingan yang sama sekali tidak memiliki hati nurani.
Sejak Katarina bertemu dengan Baskara, pria pribumi itu selalu menjadi tempat untuk berlindung tanpa diminta. Baskara yang selalu membantunya untuk mendapatkan pekerjaan, Baskara yang membawanya pergi dari kota tempat ia tinggal dulu, bahkan Baskara juga memberikan setengah gajinya untuk membantunya menabung agar bisa kembali ke Netherlands.
Ayah Katarina, seorang pejabat kolonial Belanda, telah terungkap melakukan tindakan korupsi dan penindasan terhadap rakyat pribumi. Ibunya, yang terlibat dalam jaringan perdagangan gelap, juga tidak luput dari kebencian masyarakat. Pengkhianatan orangtuanya membuat keluarga Katarina dibenci oleh banyak orang, baik oleh penduduk asli maupun oleh rekan-rekan Belanda yang merasa terancam reputasinya.
Di sisi lain, Baskara adalah seorang pejuang kemerdekaan yang secara diam-diam berjuang melawan penjajahan Belanda. Dia sering terlibat dalam rapat-rapat rahasia dengan rekan-rekannya untuk merencanakan aksi-aksi perlawanan. Baskara bekerja sebagai seorang buruh di pelabuhan untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai pejuang dan untuk mendapatkan informasi tentang pergerakan pasukan Belanda. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk melihat Indonesia merdeka dari penindasan kolonial.
Katarina sangat takut menjadi serakah jika ia mengizinkan Baskara untuk ikut dengannya. Pria itu selalu saja berkorban untuknya, dan ia merasa sudah cukup bagi Baskara untuk membantu dirinya selama ini.
Baskara menoleh dan mendapati Katarina termenung. Tidak ingin melihat Katarina merasa bersedih, dengan segera Baskara beranjak dari duduknya dan mengajak Katarina berlomba untuk cepat-cepat sampai ke rumah.
"Yang telat sampai ke rumah harus memasak makanan untuk sarapan besok pagi." Baskara berlari seraya membawa sepeda milik Katarina tanpa memperdulikan sang empu yang kebingungan mencerna semua tindakannya yang tiba-tiba.
"Baskara kamu curang!"
Sesekali Baskara menoleh ke belakang dan tertawa ketika melihat wajah Katarina kelelahan karena terus mengejarnya.
"CEPAT NAIK KALAU TIDAK AKAN AKU TINGGAL," teriak Baskara seraya menepuk-nepuk bagian sepeda yang kosong.
"Aku lelah, kamu sangat cepat!"
Pada akhirnya Baskara pun mengalah dan menunggu Katarina menghampiri dirinya. Ia merasa tidak tega, ditambah lagi melihat perempuan itu sedikit kesusahan membawa keranjang yang berisikan sayur, buah, dan sedikit makanan sebagai upah yang mereka dapatkan malam ini.
Setelah dipastikan Katarina sudah duduk dengan nyaman di bantalan belakang, barulah Baskara mengayunkan sepedanya dengan pelan.
Sepanjang perjalanan pulang, Baskara sering kali menoleh dan melontarkan lelucon agar Katarina tertawa. Entah mengapa Baskara merasa sangat senang mendengar suara tawa Katarina yang terus saja menelusup indera pendengarannya.
Cahaya rembulan dan bintang pada malam itu menjadikannya malam yang sangat indah. Udara yang biasanya dingin pun terasa jauh lebih hangat seperti interaksi keduanya.
Dan malam itu menjadi malam terakhir mereka tertawa dengan lepas, malam terakhir sebelum hari esok merenggut paksa kebahagiaan mereka hingga tak tersisa.
Malam itu, Baskara dan Katarina duduk di beranda rumah, menikmati angin malam yang sejuk. Tawa mereka mengisi keheningan malam, melenyapkan kekhawatiran sejenak.
Namun, di kejauhan, terdengar suara derap kaki dan gemuruh massa yang mendekat. Wajah Baskara berubah serius ketika ia menyadari suara itu.
"Rin, ada yang datang. Cepat masuk ke dalam," kata Baskara dengan nada cemas.
Katarina memandangnya dengan takut. "Siapa? Apa yang terjadi?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, cepat masuk dan kunci pintu," Baskara mendesak, matanya terus memantau arah suara.
Katarina berlari masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu, sementara Baskara berdiri di beranda, menunggu dengan hati-hati. Tak lama kemudian, sekelompok tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling muncul, diikuti oleh milisi pribumi yang dipimpin oleh seorang pria dengan sorot mata tajam.
"Kamu Baskara?" tanya pemimpin milisi dengan suara keras.
Baskara mengangguk. "Ya, saya Baskara. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami tahu kamu menyembunyikan anak pengkhianat di sini. Keluarkan dia sekarang juga!" teriak salah satu milisi dengan nada mengancam.
Belum sempat Baskara menjawab, Westerling maju dengan senjata terangkat. "Semua orang di desa ini adalah pemberontak. Seret mereka keluar!" perintah Westerling dengan nada keras.
Suasana berubah menjadi kacau. Para milisi dan tentara Belanda menyerbu rumah-rumah, menyeret warga yang ketakutan keluar. Jeritan terdengar dari segala penjuru desa, memecah keheningan malam.
Katarina keluar dari rumah dengan wajah pucat, diikuti oleh adiknya yang menangis. "Baskara, apa yang terjadi?"
"Kita diserang dari dua sisi, Rin. Tetap dekat denganku," jawab Baskara, matanya berkeliaran mencari jalan keluar.
Di tengah kekacauan, seorang tentara Belanda menodongkan senjata ke arah mereka. "Jangan bergerak!"
Baskara mengangkat tangan, berusaha menenangkan situasi. "Tolong biarkan kami pergi."
Namun, tentara itu tidak mendengarkan. "Semua orang di sini adalah pemberontak atau pengkhianat. Tidak ada pengecualian."
Pemimpin milisi pribumi menambah ketegangan dengan berteriak, "Bakar semua rumah! Jangan biarkan satu pun musuh selamat!"
Api mulai berkobar di berbagai sudut desa. Rumah-rumah terbakar, menerangi malam dengan cahaya neraka. Warga berteriak, berlari mencari keselamatan, tetapi tidak ada tempat yang aman.
Baskara dan Katarina berusaha melindungi adiknya, tetapi mereka terjebak di tengah kobaran api dan kekerasan yang brutal. Tentara Belanda dan milisi pribumi sama-sama kejam, tidak mengenal belas kasihan.
Salah satu warga yang berusaha melarikan diri ditembak mati di depan mata mereka. Jeritannya menggema, menambah keputusasaan yang sudah melingkupi malam itu. Anak-anak menangis, orang tua memohon ampun, namun sia-sia. Mereka dikepung dari segala arah. Suara tembakan, jeritan kesakitan, dan bau daging terbakar memenuhi udara.
Di sebuah sudut, seorang ibu merangkul anaknya yang sudah tak bernyawa, menangis histeris. Di sudut lain, sekelompok warga yang berusaha melawan dihabisi dengan brutal. Semua menjadi saksi bisu dari kengerian malam itu.
Westerling dan pemimpin milisi berdiri di tengah kehancuran, menyaksikan hasil persekusi mereka dengan puas. "Inilah nasib pengkhianat," ujar Westerling sambil menyalakan cerutunya dengan api dari rumah yang terbakar.
Baskara menoleh ke Katarina dan adiknya, matanya penuh dengan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Malam itu menjadi malam terakhir mereka. Api yang berkobar dan jeritan yang mengerikan menutup lembaran hidup mereka dengan tragis. Genggaman erat tangan keduanya hanya membuat keadaan semakin pilu dan hancur. Tidak ada yang selamat dan tidak pula berakhir dengan bahagia.
"Mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu."
Posting Komentar