0

Tidak seperti hari di musim penghujan biasanya. Siang itu cerah. Matahari bersinar seperti tidak ada esok hari. Sesampai nya dipemakaman, Hana si anak bungsu berjongkok disamping sosok kakaknya. Mata mereka sempat bertemu beberapa menit, Hansa menganggukan kepalanya lalu mengusap punggung Hana. Tangan Hana bergerak perlahan mengusap nisan sang ibunda. Pikiran kedua kakak beradik itu melayang, teringat kembali masa masa dahulu saat sang ibunda masih ada di samping mereka. Saat sang ibunda memanggil mereka berdua, tapi mereka selalu menunda nunda, saat sang ibunda memerintahkan sesuatu kepada mereka tapi mereka terkadang bermalas-malasan.

“Bunda, ibun lagi apa disana? Lagi bahagia ya? aku seneng kalau ibun bahagia disana. Aku gak tau kalau ibun masih ada disini bakal bangga apa nggak sama Hana? Tapi bunda pasti bangga banget liat abang Hansa, abang keren banget sekarang ma, abang juga kuat banget. Kadang Hana heran kok bisa ya abang sekuat itu? Kok bisa aku punya abang sehebat Hansa? Kadang aku mikir bisa gak ya aku gapai mimpi mimpi-mimpiku? Kadang aku gak yakin, tapi bang Hansa selalu yakinin aku kalau aku bisa dan harus bisa buat kejar mimpi itu, abang ngasih banyak banget motivasi buat aku, abang juga yang ngasih banyak banget pelajaran tentang hidup buat aku bun. Pokok nya ibun bakalan bangga banget liat abang sekarang. Bunda nggak usah khawatirin aku ya, karena aku punya abang Hansa. Aku kangen banget deh sama ibun, ibun datang dong ke mimpi Hana. Hana pengen dipeluk ibun, walaupun cuma dimimpi aja gapapa. Oh iya aku bawa bunga buat bunda, aku simpen disini ya, ibun dulu pengen banget bunga ini, tapi kita belum sempet beliin, kan?” Celoteh panjang Hana terhenti sebab sesak terasa di dadanya. Hana tersenyum sambil meneteskan air matanya, air matanya mengalir di pipi tembam Hana. Hana menoleh menatap sang kakak. “Jangan nangis, nanti bunda ikutan nangis disana, Na” Kata Hansa.

Hansa juga sebenarnya tidak sekuat itu, ia hanya berusaha untuk kuat agar air mata miliknya tidak terjatuh juga.

“Abang mau ngomong gak sama bunda?” Tanya Hana sambil menghapus air matanya

Hansa mengangguk “Kamu tunggu diparkiran”

“Kok gitu?!” Tanya Hana

Hansa berdehem “Abang pengen ngobrol berdua doang sama bunda, boleh kan?”

“Yaudah deh, aku ke parkiran ya bang” Ucap Hana yang mendapatkan anggukan dari Hansa.

Melihat punggung Hana yang semakin lama semakin tidak terlihat, Hansa mulai mengusap nisan sang ibunda.

“Hansa juga kangen bunda. Hansa minta maaf dulu Hansa nakal bikin bunda susah, Hansa belum sempet bikin bunda bangga. Bun, sesuai permintaan bunda, Hansa bakal jaga Hana sebaik mungkin, Hansa bakal tuntun Hana sampe jadi orang yang sukses, biar bunda bisa bangga liat kita berdua nantinya. Hansa juga bakal kejar mimpi aku kok bun, tapi gak sekarang. Gak perlu khawatir takut Hana kesepian, Hana gak akan pernah sendiri bun. Bunda cukup jagain kita berdua dari atas sana. Bunda selalu bilang dulu kalau kita harus jadi diri sendiri, percaya sama diri sendiri apapun yang terjadi. Semua pesan bunda buat kita berdua, abang selalu inget. Datang ke mimpi Hana ya ma biar dia seneng, ke mimpi abang juga kalau boleh. Yaudah abang pulang nanti kapan kapan aku sama Hana kesini lagi buat jengukin bunda.” Hansa mengusap nisan sang ibunda lembut.

Jika ditanya penyesalan terbesar Hansa & Hana? Penyesalan terbesar mereka adalah saat kedua orang tua mereka masih ada, mereka seperti tidak memiliki waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Dimana Hana dan Hansa yang sibuk bersekolah sambil mengikuti beberapa kegiatan setelah itu pergi bermain. Penyesalan mereka juga saat dulu mereka selalu merasa kesal jika orang tua mereka memerintahkan hal hal kecil.

Peluh dan rasa lelah yang mereka alami selama membesarkan sang anak tentu tidak dapat ditukar dengan harta dunia. Tanpa mereka sadari sesekali atau mungkin berkali-kali mereka melukai. perasaan kedua orang tua mereka, atau tidak mau berucap syukur dan terima kasih atas jasa serta perhatian yang mereka curahkan.

Posting Komentar

 
Top