0

"What's the difference between you and me?"


"You needed me when no one was around. I needed you even though I had everyone."


■—[Me to You]—■ First Person POV


"Aku udah download game yang kamu mainin gimana kalo kita main bar—"


"Oh game yang itu? Aku udah gak main." selanya. Aneh, padahal kemarin aku masih melihatnya bermain dengan Althea. Apa jangan-jangan mereka lagi marahan?


"Kenapa?" Davian melihat ke arahku dengan tatapan kecewa. "Itu game kesukaan Althea. Dia ngehapus gamenya karena katanya memori handphonenya gak cukup. Jadi aku uninstall gamenya, ngebosenin kalo gak ada dia."


Jadi itu alasannya. Tapi waktu itu aku pernah mengajak Davian untuk bermain game. Dia selalu menolak dengan alasan "Memori aku gak cukup" atau "Oh itu? Gamenya gak menarik" sama "Males main." Lantas kenapa dia download game random yang isinya bikin rumah, nambang, dan ngeroleplay doang? Masa cuma Althea penyebabnya.


Tidak lama kemudian teman sebangkunya Davian datang dan dia tidak lagi menghadap ke arahku. Mereka terdegar asik mengobrol bersama. Dan Davian tampak tersenyum lebar, senyum yang dia tidak pernah tunjukkan di hadapanku. Entah mengapa aku selalu iri kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.


■[Just An Option]■


Aku dan teman-temanku pergi ke mall hari ini. Kita bermain di timezone, pergi ke bioskop, lalu makan-makan di sebuah restoran. Hari telah berubah menjadi sore. Langit senja yang berwarna oranye dilengkapi dengan kemacatan jalanan. Namanya juga hidup di kota. Saat tengah bercanda dengan teman-temanku aku merasakan tepukan ringan di bahuku.


"Yara." Suara yang sangatku kenal membuat kepalaku langsung menoleh kebelakang. Tebakanku benar itu Davian. Tapi kenapa dia disini sendirian. Davian memberi isyarat untuk pergi bersamanya. Aku pun mengangguk dan izin kepada temanku untuk pergi duluan.


Kami duduk di bangku luar mall. Hari semakin gelap dan cuacanya mulai terasa dingin. Namun, Davian memakai jaketnya jadi mungkin dia tidak merasakannya. "Oh iya, kamu kesini sendirian?" Pertanyaanku langsung dijawab dengan gelengan kepala. "Tadi aku sama Althea, Damian, Rowan, Adeline... banyaklah. Mereka udah pulang duluan aku masih nunggu ojek dari tadi gak dapet-dapet."


Pantas saja emang gak mungkin kalo Davian keluar sendirian. Pas waktu aku ngajak dia aja dia selalu nolak. Betah banget di rumah orangnya. Tapi dia kayak orang yang berbeda kalo sama teman-temannya. Bukan Davian yang aku kenal.


Seorang gadis remaja yang mengenakan baju crop-top lewat di depan kami. "Loh, Adeline?" Davian langsung bangun dari tempat duduknya. "Katanya grabcar kamu udah sampai. Nih, pake jaket aku ya? Nanti kamu kedinginan." Adeline tersenyum dan berterimakasih kepada Davian.


"Makasih Dav, tadi aku di cancel katanya area ini lagi macet aku baru dapet lagi ini mau jalan keluar. Kamu gimana? Belum dapet? Mau bareng sama aku aja gak?" Aku merasa iri melihat interaksi mereka berdua. Aku juga kedinginan Davian bukannya aku duluan yang ada disini? Kenapa dia yang dapet jaketnya?


"Yowes, Yara, aku duluan ya." Dan sekarang tinggal aku yang sendirian disini. Aku menghela napasku perlahan dan memesan ojek. Semudah itu buat dia ninggalin aku disini? Pasti kalo sama Althea dia bakal nolak ajakan Adel dan tetep nunggu disini. Mau gimana lagi, aku kan bukan Althea.


Tenggorokanku sakit dan gatal. Aku batuk-batukan apakah aku terkena flu? Tanpa aku sadari aku mengeluarkan sebuah bunga dari mulutku. Rasanya agak sedikit sakit tapi lku jadi semakin panik. *Ting!* Akhirnya ada ojek yang bisa membawaku pulang. Mungkin aku butuh istirahat yang banyak.


¿¡?[A Disease]?¡¿


Belakangan ini sakit dadaku menjadi semakin parah. Aku terus menerus mengeluarkan bunga-bunga. Aku sudah memberitahu orang tuaku tapi mereka hanya menganggapku gila. Tapi batuk bunga adalah hal yang tidak logis jadi aku memaklumkan mereka. Dokter mana yang mempunyai obat untuk ini?


Aku berangkat sekolah pagi seperti biasa. Masih sedikit siswa yang berada di kelas. Yang jelas Davian juga termasuk siswa yang sering masuk pagi. "Yara, tau film yang lagi booming itu gak? Namanya Ha... Hanahaki kalo gak salah deh. Aku udah nonton sama Rowan endingnya tragis, Main characternya batuk ngeluarin bunga-bunga sampai mati."


*Deg...* Hatiku terasa berhenti sejenak. Untungnya teman Davian sudah datang jadi Davian tidak menggangguku lagi. Batuk mengeluarkan bunga? Hal yang aku alami belakangan ini.


Kringg!


Akhirnya bel pulang, aku memesan ojek dan pulang ke rumah. Aku berlari ke kamarku mencari apa itu Hanahaki di google. Penyakit fiksi? FIKSI? Lalu kenapa aku... rasa panik dan ketakutan mulai menyelimuti diriku. Tubuhku mulai terasa panas dan berat. 


Aku mendapatkan notifikasi dari Davian. Aku pun membuka handphoneku dan melihat pesan yang dikirimkan Davian.


DAVIAN

—Kamu percaya gak kalau aku jadian sama Althea.


YARA

—Hah?! Kalian jadian? Selamat ya jangan lups pj nya yaks


DAVIAN

—Yeuu ngucapin selamat tapi langsung minta pj.


YARA

—Hehe... Dav, kalo aku bilang aku punya penyakit Hanahaki kamu percaya gak?


DAVIAN

—Gak lah kan penyakit Hanahaki cuman penyakit buatan doang. Kok tiba-tiba nanya itu Ra?


YARA

—Dav... tolong ke rumah aku gak kuat.


Aku mematikan handphoneku. Batukku menjadi semakin parah. Bunga bunga dengan bercak darah ini perlahan mulai memenuhi kamar tidurku. Mataku menjadi berat dan tubuhku jatuh ke lantai.


[■White Tulips■] Third Person POV


"Yara...?!" Davian langsung memeluk erat Yara yang baru saja terbangun. Yara bingung kenapa Davian tiba-tiba memeluknya. Dia baru sadar dia sedang berada di rumah sakit dan bukan kamarnya.


"Maafin aku Yara." Davian memegang erat Yara tidak mau melepasnya. Yara hanya dapat menggelengkan kepalanya dan mengalus rambut Davian. Laki-laki itu tampak sangat ketakutan.


"Kenapa kamu gak bilang lebih awal kalo kamu punya penyakit ini?" tanya Davian khawatir. "Soalnya kamu lebih fokus sama temen-temen yang lain. Maaf yah Dav—"


"Jangan minta maaf. Ini salah aku kan Ra? Maaf, aku belum jadi temen yang baik buat kamu. Padahal kamu orang pertama yang mau jadi temenku. Aku terlalu fokus sama yang lain karena aku ngeliat gaya mereka keren dan aku mau coba berbaur dan gak jadi anak pendiem lagi. Tapi aku ngelupain kamu, Ra. Maaf." Kata-kata Davian dapat menyentuh hati Yara. Rasa sesak di dadanya menjadi semakin ringan.


Tapi sakit Yara mulai kambuh dia batuk lagi. Kali ini dia mengeluarkan bunga tulip yang berwarna putih. Sayangnya bunga itu ternodai darah Yara. Tak lama dokter memasuki ruangan Yara dan memeriksa keadaannya lagi. Memang tidak ada obat untuk penyakit ini tapi setidaknya ini akan meringankan beban Yara.


❀[■■]❀


Saat keadaan Yara membaik dia diizinkan pulang oleh dokter. Dia kembali bersekolah seperti biasa tapi harus meminum obatnya tepat waktu. Davian sekarang menjadi lebih dekat dengan Yara. Bagaimana dengan pacarnya? Mereka putus setelah Davian tahu bahwa Althea hanya menggunakannya untuk uang.


Di hari kelulusan, Davian berlari ke arah Yara dengan membawa buket bunga kecil. "Yaraaa! Cie lulus." ucap Davian sambil menaik-nurunkan alisnya. Yang dibalas dengan pukulan kecil di tangannya. "Apasih Dav, kan kamu juga lulus." Yara menggelengkan kepalanya.


"Iya ya? Kok bisa sama gitu, jangan-jangan jodoh." Wajah Yara memerah membuat Dabian terkekeh kecil. "Apasih Dav!" Yara memukul tangan Davian lagi. Tiap hari Davian membantu untuk membuat Yara senang dan menemaninya untuk berpikir positif bahwa penyakitnya bisa disembuhkan. Yara sangat senang ketika melihat Davian yang berubah menjadi Davian yang dia kenal lagi.


Davian memberikan buket kecilnya kepada Yara. "Hah? Buat apa ngasih ginian pasti ada maunya." sinis Yara.


"Buat nyogok jadi pacar kamu." ucap Davian yang membuat pipi Yara memerah. Yara menutup mukanya mencoba untuk tenang kembali. "Apasih! Yang bener apa!" Yara memukul tangan Davian lagi kali ini lebih keras dari yang sebelumnya sampai membuat Davian meringis.


"Galak amat, lagian aku juga gak lagi bercanda. Jadi gimana? Mau gak?" Davian memegangi tangan Yara menunggu jawabannya.


"Kalo gak mau?" Yara tersenyum kecil sambil menyilang tangannya.


"Aku paksa." ucap Davian meniru gaya Yara tersenyum dan menyilang tangannya. Yara terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya.


Terdengar suara langkah kaki yang mulai mengeras seperti berjalan ke arah mereka. "Kakak! Aduhh bunda cariin gak ketemu-ketemu ternyata disini." Yara menoleh kebelakang untuk melihat ke sumber suara. "Maaf Nda, tadi Yara juga lagi nyari Bunda tapi gak ketemu-ketemu." Yara salim kepada Bundanya dilanjut dengan Davian.


"Eh Davian disini juga toh pacarnya kemana kok gak keliatan kata si Yara kamu udah punya pacar?" tanya Bundanya Yara. 


"Ini pacar saya tante." Davian menarik tangan Yara dan menunjuknya dengan jari. Alhasil Yara menjadi malu dan mukanya memanas.


"Loh kok kakak gak bilang sih kalo pacaran sama Davian? Gini aja, nak Davian main kerumah yuk Bunda udah masak banyak loh." ajak Sang Bunda. 


"Boleh tuh ayo Ra." Bunda Yara berjalan ke arah mobil yang diikuti oleh Davian dan Yara. Hari itu mungkin adalah momen yang akan di abadikan oleh Yara sepanjang hidupnya. Dari mula Davian yang mengajaknya untuk menjadi kekasihnya, makan malam bersama keluarganya dan Davian,


Dan yang penting adalah penyakit Hanahaki yang sudah menjadi tantangan besar selama hidupnya akhirnya menghilang.


❀.

Posting Komentar

 
Top