Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, hiduplah seorang gadis bernama Sari. Ia dikenal sebagai penari tradisional yang luwes dan selalu membawa kebanggaan bagi desanya. Suatu hari, Pak Warto, kepala desa, memanggil Sari ke balai desa. “Sari, pekan depan kita akan mengadakan Festival Budaya. Aku ingin kau memimpin tarian Remo untuk pembukaan. Bisa?” tanya Pak Warto. Sari mengangguk penuh semangat. “Tentu, Pak! Saya akan melibatkan teman-teman agar lebih meriah.”
Sari pun mengumpulkan teman-temannya di bawah pohon waru tua yang menjadi tempat berkumpul anak-anak desa. Mereka mulai berlatih bersama. Ada Raka, pemain gamelan berbakat, dan Dewi, gadis pemalu yang ingin belajar menari. “Dewi, jangan ragu. Lihat gerakan kakiku, ikuti saja,” ujar Sari sambil menunjukkan gerakan khas tarian Remo. Dewi tersenyum malu-malu tetapi perlahan mengikuti arahan Sari. Sementara itu, Raka mencoba mengatur tempo kendang. “Hei, jangan terlalu cepat, Raka!” tegur Sari sambil tertawa.
Saat hari Festival tiba, warga desa berkumpul di alun-alun. Suara gamelan bergema, mengiringi langkah-langkah anggun Sari dan teman-temannya. Para penari mengenakan kostum tradisional berwarna merah dan emas, lengkap dengan selendang. Penonton bersorak saat tarian berakhir dengan gerakan menghentakkan kaki yang penuh semangat. Setelah itu, giliran kelompok ibu-ibu membawakan lagu-lagu daerah dengan iringan angklung. “Lihat, tradisi kita begitu indah, ya,” bisik seorang warga pada anaknya.
Namun, di tengah kegembiraan, sebuah kejadian kecil terjadi. Dewi tersandung selendangnya dan hampir terjatuh. Namun, Sari dengan sigap memegangnya. “Tak apa, Dewi. Kamu sudah melakukan yang terbaik,” kata Sari sambil tersenyum. Warga pun memberikan tepuk tangan lebih keras sebagai bentuk dukungan. Kejadian itu justru membuat suasana semakin hangat.
Festival ditutup dengan makan bersama di balai desa. Hidangan tradisional seperti nasi tumpeng, pecel, dan kue apem disajikan. Pak Warto berdiri dan berkata, “Kita harus menjaga kebudayaan kita ini. Tradisi adalah warisan yang harus kita jaga untuk generasi mendatang.” Semua orang mengangguk setuju, sementara Sari dan teman-temannya saling bertukar senyum bangga. Di bawah pohon waru, mereka tahu, kebudayaan akan terus hidup melalui tangan-tangan muda seperti mereka.
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.